Kejujuran Pangkal Tolak Kebaikan
Suatu ketika Nabi Muhammad SAW didatangi
oleh orang Badui yang mengadukan kebiasaan buruknya. “Wahai Nabi, saya telah masuk Islam, tetapi saya merasa berat untuk
meninggalkan dua kebiasaan buruk saya”. Mendengar itu, para sahabat protes,
mengapa orang Badui itu diperbolehkan masuk Islam. Tetapi, dengan tenang,
simpatik dan diplomatis, Nabi menjawab memberikan penjelasan kepada para
sahabat sekaligus tanggapan bagi orang Badui itu. “Baiklah, saudaraku. Sekiranya engkau memang
bertekad menjadi seorang muslim yang sebenarnya, ada satu syaratnya”. “Apakah syarat itu, wahai Rasulullah ? “Jujur…
engkau harus bisa jujur”, jawab Nabi mantap.
Riwayat singkat di atas,
memberi catatan penting bahwa jujur
adalah sifat seseorang yang merupakan cerminan dari kesadaran diri, ketulusan
hati, dan kepedulian yang dilandasi oleh kebenaran. Karena itu, jujur memiliki makna yang sangat penting bagi
pribadi seseorang. Kejujuran yang tertanam dalam diri, akan mengarahkan semua
gerak badan kita; mata, telinga, mulut, tangan, kaki, pikiran dan anggota badan
lainnya menuju pada satu muara, yaitu
menggapai ridla Allah SWT.
Orang Badui yang datang
kepada Nabi, pada awalnya memang belum menyadari sepenuhnya bahwa jujur yang
disyaratkan Nabi itu akan menjadi dasar tumbunya sifat-sifat baik lainnya dan
menegasikan sifat-sifat buruk atau maksiat yang telah menjadi kebiasaan orang
tersebut, yaitu zina dan minum
arak (mabuk).
Karena itu, tatkala
dalam dirinya timbul nafsu untuk
melakukan kebiasaan maksiat itu, seketika itu juga ia tersadar bahwa ia harus
jujur. Jujur terhadap apa saja yang ia lakukan. Jujur kepada Nabi, jujur kepada
para sahabat, jujur kepada keluarganya, jujur kepada tetangganya, dan lebih
dari itu adalah jujur kepada dirinya sendiri dan jujur kepada
penciptanya, Allah SWT.
Akibatnya, ia merasa malu dan spontanitas niatan untuk berbuat maksiat tidak
jadi dilakukan.
Dengan demikian jujur
adalah salah satu sifat yang menjadi pangkal tolak kebaikan. Dan sebaliknya,
khiyanat, dusta atau berbohong adalah pangkal tolak keburukan. Rasulullah
menegaskan dalam sabdanya :
عَنِ اِلَىاليِّرِّ وَاِنَّ البِّرَّيَهْدِىْاِلَىالْجَنَّـةِ. وَاِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَاللهِ صِدِّيْقًا وَاِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِىْ اِلَىالْفُجُرِ, وَاِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِىْاِلَىالنَّارِ وَاِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَاللهِ كَذَّابـًا. (متفق عليه)
Dari Ibnu Mas’ud r.a. dari
Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebajikan dan
kebajikan itu menunjukkan ke sorga. Dan sesungguhnya seseorang itu jujur
sehingga ditulis di sisi Allah sebagai orang
yang jujur. Sesungguhnya dusta itu
menunjukkan kepada kedurhakaan dan kedurhakaan itu menujukkan ke neraka.
Sesunggunya seseorang itu berdusta sehingga ditulis di sisi Allah sebagai
tukang dusta”. (Muttafaqun ‘alaih)
Jadi, sangat jelas bahwa
sifat jujur yang tertanam dalam diri seseorang,
akan menumbuhkan sifat-sifat baik lainnya, misalnya; terbuka, amanah,
adil, santun, kasih sayang, menepati janji,
istiqamah, teratur, menjaga diri, berhati-hati, mengutamakan orang lain
dan sebagaianya. Seseorang yang memiliki sifat-sifat baik itu, maka hidupnya
akan tenang, tentram, bahagia, dan sejahtera. Ia merasa bebas dan merdeka bergaul dengan siapa saja, karena tak punya
masalah. Ia akan merasa aman, karena bisa menjaga diri dan otomatis juga akan
dijaga oleh orang lain. Karena itu, pikiran dan jiwanya tak akan merasa cemas,
gelisah dan resah.
Lain persoalannya dengan
orang yang suka berdusta, khiyanat, atau berbohong. Sifat dusta akan mendorong
tumbuhnya sifat-sifat buruk yang lain, seperti; tertutup, takut, buruk sangka,
curiga, menggunjing, marah, tipu daya, suap, zalim, dengki, menghina,
memfitnah, mencela dan sebagainya.
Pribadi seseorang yang diwarnai sifat-sifat buruk itu, pikirannya akan
selalu negatif terhadap orang lain. Karena itu, ia cenderung menyendiri, tidak mau ketemu dengan orang
lain. Suami yang dusta terhadap istri dan anak-anaknya, pimpinan yang berbohong
terhadap staf-stafnya atau sebaliknya, seseorang yang berdusta kepada
tetanggnya, maka mereka semua akan malu bahkan takut ketemu yang orang yang
didustainya. Akibanya, orang yang berdusta, pikiran dan jiwanya akan selalu
resah, gelisah, merasa dikejar-kejar orang lain, dan dan hidupnya tidak akan
merasa tenang, tentram dan bahagia.
Karena itulah, jujur
adalah akhlak yang paling tinggi bagi pribadi seseorang. Tetapi, mengapa kita seringkali merasa sulit dan berat untuk berbuat jujur ?
Persoalan yang utama
sebenarnya bukan berat atau sulit, tetapi kebiasaan. Sifat atau perbuatan
jujur, ibarat pohon. Pohon itu, kalau sejak tunas batangnya sudah lurus, maka
seterusnya akan lurus. Kalaupun akan
dibengkokkan, tentu sulit, bahkan kemungkinan justru akan patah. Sebaliknya,
pohon itu, kalau batangnya sejak kecil sudah bengkok, maka seterusnya akan bengkok.
Kalau diluruskan sudah besar, maka akan sulit sekali, bisa jadi malah jadi
patah. Karena itu, mengapa kita seringkali merasa berat untuk jujur, sebab
utamanya adalah belum terbiasa di samping lingkungan tentu juga ikut
mempengaruhi. Lingkungan keluarga yang biasa berbohong, ibu mengajari anaknya
berbohong, ayah mengajari ibunya berbohong dan sebagainya, maka seluruh
keluarga itu akan seterusnya berbohong.
Jujur adalah sifat
termahal, karena untuk membentuk sifat jujur ini, tidak bisa dibeli seberapapun
harganya dan tidak bisa dibuat dalam waktu singkat. Karena itu, kunci utama
untuk membentuk sifat jujur ini adalah menanam biji kejujuran itu dalam pribadi
kita sejak kecil, bahkan sejak seornag anak manusia dalam rahim ibu, sudah
perlu ditanami kejujuran. Ibu yang mengandungnya, ayah dan semua anggota
keluarga yang ada di sekitarnya juga harus bisa berpartisipasi dengan sifat
jujur juga.
Tiga jenis kejujuran
yang perlu ditanam sejak dini adalah:
1. Kejujuran dalam ucapan, yaitu
kesesuaian antara yang diucapkan
dengan tindakan.
2. Kejujuran dalam perilaku, yaitu
kesesuaian antara perbuatan dan ucapan
3. Kejujuran dalam niat, yaitu konsistensi niat hanya karena Allah SWT dalam melakukan
semua kegiatan hidup sehari-hari.
Kejujuran adalah buah utama bagi seseroang yang
tertanam benih-benih keimanan. Orang yang beriman (mukmin) mungkin saja
memiliki sifat kikir, pengecut, penakut dan sebagainya. Tetapi seorang mukmin
sejati tidak mungkin menjadi pendusta (tidak jujur). Karena itu, kejujuran menjadi batas keimanan seseorang. Orang yang
suka berdusta berarti keimanannya diragukan. Sebaliknya, orang yang jujur maka
keimanannya pasti bisa dipertanggungjawabkan.
Karena itu, Allah menyukai terhadap orang-orang
yang berani dan mampu berlaku jujur dan sebaliknya tidak menyukai orang yang
berdusta, khiyanat atau berbohong .
اِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ اْلخَـا ئِنِـْينَ.
“Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat” (QS. Al Anfaal, 58)
Beberapa kiat membentuk pribadi jujur, antara lain :
1. Selalu berpikir positip terhadap Allah (penentu “nasib” diri
kita), diri sendiri, orang lain, lingkungan dan masa depan, dalam bahasa agama
disebut “memasrahkan diri” (Islam) kepada Allah.
2. Bangun kepercayaan diri secara mantap.
3. Berpikir, bersikap dan bertindak (bekerja) sesuai dengan
kemampuan.
4. Jangan menciptakan peluang (sekecil apapun) berbuat dusta.
5. Jangan mencoba-coba
(sekalipun hanya sekali) berdusta.
6. Berkumpul (banyak bergaul) dengan orang-orang yang jujur.
7. Perluas wawasan psikologi kepribadian.
M. Mahlani
Penyuluh Agama Ahli Madya Kota Yogyakarta
Ketua Umum Kelompok Kerja Penyuluh Agama Islam
Kota Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar