You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 22 April 2014

Kejujuran Pangkal Tolak Kebaikan

Suatu  ketika Nabi Muhammad SAW didatangi oleh orang Badui yang mengadukan kebiasaan buruknya. “Wahai Nabi, saya telah  masuk Islam, tetapi saya merasa berat untuk meninggalkan dua kebiasaan buruk saya”. Mendengar itu, para sahabat protes, mengapa orang Badui itu diperbolehkan masuk Islam. Tetapi, dengan tenang, simpatik dan diplomatis, Nabi menjawab memberikan penjelasan kepada para sahabat sekaligus tanggapan bagi orang Badui itu.  “Baiklah, saudaraku. Sekiranya engkau memang bertekad menjadi seorang muslim yang sebenarnya, ada satu syaratnya”. “Apakah syarat itu, wahai Rasulullah ? “Jujur… engkau harus bisa jujur”, jawab Nabi mantap.

Riwayat singkat di atas, memberi catatan penting  bahwa jujur adalah sifat seseorang yang merupakan cerminan dari kesadaran diri, ketulusan hati, dan kepedulian yang dilandasi oleh kebenaran. Karena itu, jujur  memiliki makna yang sangat penting bagi pribadi seseorang. Kejujuran yang tertanam dalam diri, akan mengarahkan semua gerak badan kita; mata, telinga, mulut, tangan, kaki, pikiran dan anggota badan lainnya  menuju pada satu muara, yaitu menggapai ridla Allah SWT.

Orang Badui yang datang kepada Nabi, pada awalnya memang belum menyadari sepenuhnya bahwa jujur yang disyaratkan Nabi itu akan menjadi dasar tumbunya sifat-sifat baik lainnya dan menegasikan sifat-sifat buruk atau maksiat yang telah menjadi kebiasaan  orang  tersebut, yaitu   zina dan  minum   arak   (mabuk).

Karena itu, tatkala dalam dirinya  timbul nafsu untuk melakukan kebiasaan maksiat itu, seketika itu juga ia tersadar bahwa ia harus jujur. Jujur terhadap apa saja yang ia lakukan. Jujur kepada Nabi, jujur kepada para sahabat, jujur kepada keluarganya, jujur kepada tetangganya, dan lebih dari itu adalah jujur kepada dirinya sendiri dan  jujur kepada  penciptanya,  Allah SWT. Akibatnya, ia merasa malu dan spontanitas niatan untuk berbuat maksiat tidak jadi dilakukan.
Dengan demikian jujur adalah salah satu sifat yang menjadi pangkal tolak kebaikan. Dan sebaliknya, khiyanat, dusta atau berbohong adalah pangkal tolak keburukan. Rasulullah menegaskan dalam sabdanya :

عَنِ اِلَىاليِّرِّ وَاِنَّ البِّرَّيَهْدِىْاِلَىالْجَنَّـةِ. وَاِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَاللهِ صِدِّيْقًا وَاِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِىْ اِلَىالْفُجُرِ, وَاِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِىْاِلَىالنَّارِ وَاِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَاللهِ كَذَّابـًا. (متفق عليه)


Dari Ibnu Mas’ud r.a. dari Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebajikan dan kebajikan itu menunjukkan ke sorga. Dan sesungguhnya seseorang itu jujur sehingga ditulis di sisi Allah  sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya dusta itu  menunjukkan kepada kedurhakaan dan kedurhakaan itu menujukkan ke neraka. Sesunggunya seseorang itu berdusta sehingga ditulis di sisi Allah sebagai tukang dusta”. (Muttafaqun ‘alaih) 

Jadi, sangat jelas bahwa sifat jujur yang tertanam dalam diri seseorang,  akan menumbuhkan sifat-sifat baik lainnya, misalnya; terbuka, amanah, adil, santun, kasih sayang, menepati janji,  istiqamah, teratur, menjaga diri, berhati-hati, mengutamakan orang lain dan sebagaianya. Seseorang yang memiliki sifat-sifat baik itu, maka hidupnya akan tenang, tentram, bahagia, dan sejahtera. Ia merasa bebas dan merdeka  bergaul dengan siapa saja, karena tak punya masalah. Ia akan merasa aman, karena bisa menjaga diri dan otomatis juga akan dijaga oleh orang lain. Karena itu, pikiran dan jiwanya tak akan merasa cemas, gelisah dan resah. 

Lain persoalannya dengan orang yang suka berdusta, khiyanat, atau berbohong. Sifat dusta akan mendorong tumbuhnya sifat-sifat buruk yang lain, seperti; tertutup, takut, buruk sangka, curiga, menggunjing, marah, tipu daya, suap, zalim, dengki, menghina, memfitnah, mencela dan sebagainya.  Pribadi seseorang yang diwarnai sifat-sifat buruk itu, pikirannya akan selalu negatif terhadap orang lain. Karena itu, ia cenderung  menyendiri, tidak mau ketemu dengan orang lain. Suami yang dusta terhadap istri dan anak-anaknya, pimpinan yang berbohong terhadap staf-stafnya atau sebaliknya, seseorang yang berdusta kepada tetanggnya, maka mereka semua akan malu bahkan takut ketemu yang orang yang didustainya. Akibanya, orang yang berdusta, pikiran dan jiwanya akan selalu resah, gelisah, merasa dikejar-kejar orang lain, dan dan hidupnya tidak akan merasa tenang, tentram dan bahagia.
Karena itulah, jujur adalah akhlak yang paling tinggi bagi pribadi seseorang. Tetapi, mengapa  kita seringkali merasa  sulit dan berat untuk berbuat jujur ?
Persoalan yang utama sebenarnya bukan berat atau sulit, tetapi kebiasaan. Sifat atau perbuatan jujur, ibarat pohon. Pohon itu, kalau sejak tunas batangnya sudah lurus, maka seterusnya  akan lurus. Kalaupun akan dibengkokkan, tentu sulit, bahkan kemungkinan justru akan patah. Sebaliknya, pohon itu, kalau batangnya sejak kecil sudah bengkok, maka seterusnya akan bengkok. Kalau diluruskan sudah besar, maka akan sulit sekali, bisa jadi malah jadi patah. Karena itu, mengapa kita seringkali merasa berat untuk jujur, sebab utamanya adalah belum terbiasa di samping lingkungan tentu juga ikut mempengaruhi. Lingkungan keluarga yang biasa berbohong, ibu mengajari anaknya berbohong, ayah mengajari ibunya berbohong dan sebagainya, maka seluruh keluarga itu akan seterusnya berbohong.
Jujur adalah sifat termahal, karena untuk membentuk sifat jujur ini, tidak bisa dibeli seberapapun harganya dan tidak bisa dibuat dalam waktu singkat. Karena itu, kunci utama untuk membentuk sifat jujur ini adalah menanam biji kejujuran itu dalam pribadi kita sejak kecil, bahkan sejak seornag anak manusia dalam rahim ibu, sudah perlu ditanami kejujuran. Ibu yang mengandungnya, ayah dan semua anggota keluarga yang ada di sekitarnya juga harus bisa berpartisipasi dengan sifat jujur juga.
Tiga jenis kejujuran yang perlu ditanam sejak dini adalah:

1.    Kejujuran dalam ucapan, yaitu  kesesuaian  antara yang diucapkan dengan tindakan.
2.    Kejujuran dalam perilaku, yaitu  kesesuaian antara perbuatan dan ucapan
3.    Kejujuran dalam niat, yaitu konsistensi   niat hanya karena Allah SWT dalam melakukan semua kegiatan hidup sehari-hari. 
Kejujuran adalah buah utama bagi seseroang yang tertanam benih-benih keimanan. Orang yang beriman (mukmin) mungkin saja memiliki sifat kikir, pengecut, penakut dan sebagainya. Tetapi seorang mukmin sejati tidak mungkin menjadi pendusta (tidak jujur). Karena itu, kejujuran  menjadi batas keimanan seseorang. Orang yang suka berdusta berarti keimanannya diragukan. Sebaliknya, orang yang jujur maka keimanannya pasti bisa dipertanggungjawabkan.
Karena itu, Allah menyukai terhadap orang-orang yang berani dan mampu berlaku jujur dan sebaliknya tidak menyukai orang yang berdusta, khiyanat atau berbohong .

اِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ اْلخَـا ئِنِـْينَ.

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat” (QS. Al Anfaal, 58)

Beberapa kiat membentuk pribadi jujur, antara lain :
1.    Selalu berpikir positip terhadap Allah (penentu “nasib” diri kita), diri sendiri, orang lain, lingkungan dan masa depan, dalam bahasa agama disebut “memasrahkan diri” (Islam) kepada Allah.
2.    Bangun kepercayaan diri secara mantap.
3.    Berpikir, bersikap dan bertindak (bekerja) sesuai dengan kemampuan.
4.    Jangan menciptakan peluang (sekecil apapun) berbuat dusta.
5.    Jangan  mencoba-coba (sekalipun hanya sekali) berdusta.
6.    Berkumpul (banyak bergaul) dengan orang-orang yang jujur.
7.    Perluas wawasan psikologi kepribadian.

M. Mahlani
Penyuluh Agama Ahli Madya Kota Yogyakarta
Ketua Umum Kelompok Kerja Penyuluh Agama Islam
Kota Yogyakarta

0 komentar:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP