Impian setiap manusia selalu ingin berlomba-lomba untuk
menjadi insan sejati, manusia sempurna atau dalam terminologi Islam disebut insan kamil. Tentu tidak ada larangan
untuk bermimpi seperti itu, pada hakikatnya Tuhan pun menyuruh hamba-Nya untuk
menjadi manusia sempurna. Masalahnya adalah bagaimana upaya kita untuk menjadi insan kamil. Apakah hal itu merupakan
harapan yang kosong? Kita harus berani
tegas menjawab ‘tidak’.
Kehidupan yang harus
dilalui manusia terkadang terbagi menjadi dua golongan. Pertama, golongan manusia yang menikmati hidup ini dengan
bahagia, tenang, enjoy dan sebagainya, walaupun banyak masalah yang menimpanya.
Kedua, manusia yang merasakan
hidup ini bagaikan sebuah beban, rintangan, halangan dan sebagainya, walaupun
banyak kesenangan dan kenikmatan yang dirasakannya.
Dimensi kehidupan
manusia senantiasa memancarkan keindahan, namun seberapa dalam kita mampu
menyelaminya sangat tergantung pada tiga hal: Pertama, apakah mata kita
cukup sehat dan normal untuk melihat obyek yang indah itu? Kedua, apakah cukup memadai penerangan yang ada sehingga mampu
memberikan kejelasan akan obyek tersebut. Ketiga, apakah kita memiliki mata
bathin yang bening dan jernih sehingga dapat memperoleh
pencerahan.
Dengan kata lain ada
tiga syarat untuk menjadikan hidup ini menjadi indah yaitu mempunyai mata yang normal, membutuhkan
cahaya dan mempunyai mata bathin. Sudahkah kita mempunyai ketiganya?
Ada ungkapan orang bijak yang berbunyi “Kita tidak akan pernah dapat mengubah arah
angin, tetapi yang dapat dilakukan adalah bagaimana mengubah arah sayap”. Ini mengisyaratkan sebuah asumsi bahwa realitas
kehidupan tidak akan berubah hingga kita sendiri yang mengubah sudut pandang
kita terhadap realitas kehidupan tersebut. Ada beberapa hal yang mesti
diperbaiki dalam sisi-sisi kehidupan kita, di antaranya :
Pertama, mengubah paradigma berfikir. Ada analogi yang
menggambarkan perbedaan antara orang yang optimis dengan yang pesimis tatkala
melihat sebuah gelas yang berisi air setengahnya. Orang optimis akan mengatakan
bahwa ‘gelas itu masih berisi setengahnya,’ sedangkan orang yang pesimis akan
mengatakan ‘gelas itu sudah habis airnya tinggal setengah.’ Walaupun secara
substansi kedua ungkapan tersebut sama, namun menyiratkan dua paradigma cara
berfikir yang berbeda.
Paradigma cara berfikir menandakan kualitas dan
kredibilitas seseorang. Dengan melatih berfikir yang optimis, dan positif, maka kita akan membentuk karakter
diri yang optimis dan positif pula. Kita teringat sebuah hadits qudsi
mengatakan,”Sesungguhnya Aku tergantung persangkaan hamba-Ku
kepada-Ku.”
Kedua, melakukan perubahan visi. Visi kehidupan bagi seseorang sangatlah berharga, karena visi itu mengindikasikan tujuan
hidup bagi orang tersebut. Visi yang baik dan futuristik menunjukkan orang
tersebut siap mengarungi hidup ini, begitupun sebaliknya.
Ketiga, melakukan perubahan aksi.
Paradigma cara berfikir dan visi hidup belumlah dikatakan cukup tanpa adanya
perubahan aksi, karena pada dasarnya cara berfikir dan visi dikatakan baik
apabila sudah terimplementasikan dalam aksi-aksi kesehariannya.
Definisi perubahan yang diketahui adalah “proses
transformasi dari zona nyaman menuju ke zona tidak nyaman.” Sering orang tidak mau melakukan perubahan karena dirinya tidak
mau mengalami ‘ketidaknyamanan’ yang baru. Padahal ketidaknyamanan tersebut
merupakan resiko yang harus ditempuh sekaligus prasyarat untuk menuju
perbaikan. Contoh: Si fulan tidak mau tidur di tempat tidur yang empuk,
sejuk dan sebagainya, hanya karena ia telah sekian tahun tidur di alas kasur sederhana
dan telah merasakan kenyamanan. Kasur yang empuk dan sejuk tadi bagi si fulan
dirasakan tidak nyaman karena tidak biasa.
Sepuluh Kaidah Sukses
Sepuluh kaidah untuk mencapai kesuksesan menurut DR.
Akrim Ridha dalam bukunya ‘Idaaratu Al-Dzaat (dalil al-syabab ila al-najaah)
yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia “Menjadi Pribadi Sukses.”
yaitu :
Pertama, kuasai semua cahaya yang menerangi tujuanmu. Cahaya di
sini adalah bentuk strategi, cara untuk mencapai tujuan. Adapun cita-cita dan
tujuan yang jelas dan konkrit mesti memenuhi kriteria: ditentukan secara tepat,
harus terbatas dalam kuantitas, metode, waktu dan mesti realistis.
Kedua, berfikir serius. Kita
teringat peristiwa kemenangan Mesir atas kaum Yahudi pada oktober 1973. Hal
tersebut bukan hanya karena strategi dan pelaksanaan yang efektif, tetapi memang
merupakan suatu cita-cita dan tujuan yang telah direncanakan secara matang dan
sejak lama. Artinya bangsa Mesir saat itu serius melakukannya.
Ketiga, pilihlah figur yang ideal. Figur yang ideal akan mempengaruhi karakter
diri kita. Dalam memilih figur ini, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan:
perlunya kesabaran dalam mencari figur (qudwah)
yang ideal – sebagai contoh kisah Musa dan Hidir. Para Nabi/Rasul
merupakan orang yang tepat untuk dijadikan figur atau teladan. Tidak melakukan
peniruan yang membabi buta terhadap figur yang salah atau dengan kata lain
jadilah diri kita sendiri. Ada ungkapan “if
you want to be success, follow the success person.”
Keempat, percaya diri. Percaya diri adalah infrastruktur mental
manusia dan merupakan sumber potensi utama manusia dalam hidup ini. Ada enam
sumber potensi bagi tumbuhnya kepercayaan diri :
1. Berusaha terus menerus.
2. Langsung berbuat.
3. Kompensasi-segera
mencari alternatif.
4. Terimalah segala
kemampuan yang ada.
5. Hitunglah segala bentuk
keberhasilan dan kesuksesan.
6. Keimanan (pada Allah
SWT).
Kelima, berfikir yang baik. Ciri khas manusia adalah bisa
berpikir. Filosof Descartes mengatakan “cogito
ergo sum” (aku berfikir, oleh karena itu aku ada), Marcus Adrelius, “hidup
kita itu hasil dari berfikir kita.” Ciri-ciri berfikir yang baik adalah:
realistis, positif, bijak (seimbang), logis dan inovatif. Ketika kita
berinovasi harus mewaspadai dua hal; bisikan-bisikan jiwa yang negatif, dan
pengaruh orang lain yang bisa membunuh pemikiran kita.
Keenam, perencanaan yang baik. Perencanaan merupakan semacam
prediksi terhadap apa yang akan terjadi pada masa datang disertai persiapan
untuk menghadapi masa datang tersebut (Henry Fayol). Jadi, perencanaan
merupakan alat manajerial yang bertujuan mewujudkan cita-cita (ghayah). Ghayah
tersebut adalah tercapainya tujuan yang dituntut melalui penggunaan
sumber-sumber (bahan-bahan) yang paling
baik.
Belajar itu
perlu ketekunan dan kesabaran
|
Ketujuh, belajar. Lahirnya ilmuwan-ilmuwan dunia tidak lain karena mereka mau
belajar. Para ilmuwan mengatakan,”untuk mencapai cita-cita kita, kita mesti
melakukan usaha spesifik (takhassus) dan supaya sukses dalam takhassus, kita mesti menapaki
karir (ihtiraaf). Sedangkan kaidah ikhtiraaf adalah: belajar dan belajar.
Kedelapan, bersabar. Ketika kita menapaki jalan menuju manajemen
diri dan mengarungi lautan kehidupan, perahu yang merupakan setengah dari keimanan adalah sabar.
Kesembilan, tekun, ulet, rajin, keras hati, penuh perhatian, tidak
mudah putus asa, tabah (sabar), pantang mundur (mutsaabarah).
Kesepuluh, menikmati waktu. “jika waktu
merupakan bagian dari langkah kita, sedangkan langkah kita untuk mencapai cita-cita merupakan suatu bentuk
kenikmatan, maka sempurnakanlah manajemen kita.” Sukses bukanlah merupakan
tujuan namun sebuah perjalanan yang panjang penuh onak dan duri sehingga untuk
bisa lolos dibutuhkan usaha-usaha yang maksimal, kontinu, dan penuh kesabaran.
0 komentar:
Posting Komentar