You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 12 Mei 2014

Tak Ada Kelaparan dan Ketakutan bagi Orang Beriman

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri  yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya  datang kepadanya melimpah ruah   dari segenap tempat, tetapi (penduduknya)  mengingkari ni’mat-ni’mat Allah; karena itu  Allah merasakan  kepada mereka  pakaian  kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat” (QS. An-Nahl, 16:112)

Bencana demi bencana secara bergelombang terus menerpa bangsa Indonesia.  Bencana banjir di Jakarta di ibu kota Jakarta dan hampir sebagian besar wilayah nusantara,  beberapa gunung api bererupsi,  dan berbagai bencana lainnya seakan menjadi gong penutup atau kemungkinan  menjadi pembuka isyarat akan adanya bencana yang lebih  mengerikan lagi, wallahu a’lam. Kita sedih, kasihan, prihatin  dan selalu bertanya, mengapa bencana tak kunjung lepas dari kehidupan masyarakat kita. Kasihan saudara-saudara kita, di saat harus menghadapi masalah ekonomi yang lagi sulit – harga barang-barang kebutuhan pokok melambung tinggi -  harus berjuang menyelamatkan diri dari berbagai berncana yang menghabiskan harta benda dan bahkan memupuskan harapan.
Bencana demi bencana sepertinya benar-benar menjadi salah satu sebab timbulnya kelaparan dan ketakutan. Saudara-saudara kita yang menjadi pengungsi karena bencana banjir, gunung meletus, tanah longsor dan sebagainya harus merasakan, bagaimana rasanya makan tergantung pada belas kasih bantuan orang lain. Mereka harus merasakan, bagaimana rasanya tidur di rumah orang dengan seadanya, sementara kondisi rumahnya sendiri beserta perabot di dalamnya tak jelas nasibnya karena tenggelam. Bagi sebagian mereka yang memiliki pekerjaan tetap dan memiliki tabungan di Bank,  mungkin beberapa hari menjadi pengungsi tidak begitu merisaukan (sekali-sekali merasakan menjadi pengungsi), sebab mereka masih ada harapan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi, lain persoalannya bagi saudara-saudara kita yang pekerjaanya tidak tetap, maka apa yang bisa mereka lakukan dan harapkan untuk hari esok ? Bagaimana harus memenuhi kebutuhan makan, bertempat tinggal, belajar bagi anak-anak dan kebutuhan-kebutuhan lainnya ? Sungguh mengenaskan.

Akibat mengingkari nikmat Allah ?
Sebagai orang beriman, kita memang perlu bertanya dari aspek yang lebih  mendasar ketimbang bersifat artifisial, seperti aspek ekologis, sosiologis atau ekonomis misalnya. Aspek yang mendasar itu adalah dalam pertaliannya dengan hubungan antara kita (sebagai makhluk) dengan Allah SWT (sebagai Khaliq).  Apakah aneka bencana terjadi di masyarakat kita  merupakan bukti nyata bahwa kita telah mengingkari nikmat Allah SWT ? Sebab, pesan dari  ayat 16 surat An-Nahl  mengisyaratkan  demikian. Bagi orang-orang yang mengingkari nikmat Allah, maka ia  akan ditimpa kelaparan dan ketakutan.
Sebagai bangsa yang masih tertatih-tatih membangun tatanan ekonomi-politik dan budaya yang kuat, mestinya masih agak lumayan jika perilaku kita dan para pemimpin kita masih menyimpan rasa dan sikap santun, saling menghargai, menghormati dan saling melindungi. Itulah sebenarnya kekayaan yang harus kita miliki. Tetapi, ternyata kekayaan itu telah banyak yang hilang atau memang sengaja dihilangkan.  Sebagian di antara warga bangsa ini, termasuk sebagian para pemimpin kita justru mendemonstrasikan perilaku tidak terpuji, seperti; minuman keras, pergaulan bebas, berjudi, menimbun barang-barang konsumsi masyarakat, dan perilaku negatif lainnya.
Keinginan  hidup serba mudah, enak, dan menyenangkan memang  hak setiap warga negara. Semua orang syah dan dijamin oleh hukum untuk menjadi pemimpin, menjadi kaya, sarjana dan hidup secara berkecukupan. Tetapi  lain persoalannya, tatkala setiap orang mencari jabatan, kekayaan, kesarjanaan dan beragam keinginan lainnya tanpa mengindahkan  etika, moral atau akhlaq. Pengin kaya, tanpa malu seseorang  berkorupsi, manipulasi, berjudi, merampok, memaksa hak/milik orang lain, menjarah hutan,  dan cara-cara kotor lainnya. Pengin jabatan dan  pekerjaan, tanpa malu lagi sebagian masyarakat kita  menyogok, sikut kanan-sikut kiri, lempar batu sembunyi tangan, dan cara-cara licik lainnya. Pengin pandai (jadi sarjana) tanpa malu lagi seseorang menyontek, potong kompas, bahkan membeli ijazah.
Cara-cara tidak terpuji seperti di atas itulah yang sebenarnya hanya menghadapkan kita  pada kesulitan hidup, kehinaan dan kesengsaraan.  Sebab, cara-cara itu, selain merugikan diri sendiri juga merugikan atau bahkan merusak orang lain (makhluk lain). Banjir yang menjadikan kita menderita, tidak sepenuhnya hanya disebabkan oleh tingginya curah hujan, tetapi pasti juga disebabkan oleh perilaku masyarakat kita yang kurang peduli terhadap lingkungan dan  kebersihan. 

Tetap Menanam Harapan
Namun demikian, betapapun rasanya tidak ada lagi yang bisa menjadi pengharapan untuk hidup secara mudah, enak dan menyenangkan,  sebagai orang yang beriman, maka  kita tidak boleh putus asa. Kendati rasanya tidak ada lagi harapan untuk hidup lebih baik, kita harus tetap menanam harapan itu.  Apapun jadinya,   usaha adalah satu langkah lebih baik dan terpuji daripada kita terus meratapi nasib.  Harapan terbentuknya bangsa, kota, kampung  atau keluarga yang aminatan mutmainnah, yaitu  aman lagi tenteram, rezkinya  terus datang melimpah ruah   dari segenap tempat, tetap harus kita tanam dalam kesadaran setiap pribadi. Inilah perjuangan yang menjadi tantangan kehidupan kebangsaan kita ke depan.
Evaluasi kritis atas kesombongan, keserakahan dan kekonyolan perilaku kita perlu menjadi kerangka dasar kebangkitan kesadaran terhadap makna hidup kita yang sebenarnya sebagai warga bangsa. Sebab, bagi seorang mukmin, sebenarnya sangat jelas pernyataan Allah SWT berikut :

ولاتهنواولاتحزنواوانتم الاعلون ان كنتم مؤمنين
Artinya :
"Dan janganlah kamu merasa lemah dan jangan pula merasa susah, dan kamu akan menang jika kamu mukmin"  (Ali Imran: 138)

Orang yang beriman, implementasinya akan selalu bersikap dan berperilaku santun, sopan, bijaksana, disiplin, pandai menjaga kebersihan lingkungan, solidaritasnya tinggi, peduli terhadap kepentingan bersama dan sifat-sifat positif lainnya. Jika setiap orang mampu mengembangkan sifat semacam itu, niscaya berbagai bencana, khususnya banjir bisa kita minimalisir sehingga kalaupun itu terjadi tidak menimbulkan korban yang sangat besar sebagaimana terjadi di akhir Januari ini.
Lain persoalannya bagi orang-orang yang tidak beriman, yang semangat hidupnya didominasi oleh harta, kekuasaan dan gila kehormatan, maka perilakunya tidak mempertimbangkan mana yang halal dan mana haram, mana bermanfaat dan mana yang menjadikan bencana. Ingat..! Bahwa alam ini bukanlah jenis makhluk yang diliputi kepentingan sebagaimana manusia. Alam adalah makhluk Allah yang latif, jujur,  dan tetap berada dalam fitrahnya. Karena itu, alam tidak akan menjadi ganas dan mematikan, jika manusia bisa memperlakaukananya secara wajar dan santun. Tetapi, sebaliknya, alam ini akan menjadi ganas dan menggilas apa saja yang dilaluinya tatkala manusia berbuat sewenang-wenang terhadapnya, seperi; menjarah hutan dengan rakuasnya, membuang sampah atau kotoran sesukanya, merusak lingkungan dengan bebasnya.
Karena itu, beberapa tahun terakhir ini, bangsa Indonesia, sebenarnya bisa sedang memetik buah yang telah ditanamnya. Bencana banjir yang volume, wilayah  dan korbannya terus bertambah, tanah longsor terjadi dimana-mana, gunung meletus dan sebagainya, tentunya menjadi bagian dari ayat-ayat Allah agar kita melakukan evaluasi dan ditindaklanjuti dengan perbaikan diri.
Akhirnya, selain usaha-usaha keras yang bersifat sosiologis-teknologis untuk mengantisipasi bencana yang kemungkinan akan terjadi lebih dahsyat lagi,  yang lebih mendasar lagi adalah kita bangun kesadaran kemanusiaan kita. Kita mantapkan dan implementasikan  keimanan kita untuk menjadi warga bangsa yang bertanggung jawab, disiplin, santun, dan berakhlak mulia. Inilah satu-satunya harapan yang bisa membesarkan hati kita untuk selalu berpengharapan hari esok yang  lebih baik.
 Bagi saudara-saudara kita yang sedang menghadapi banjir di seantero Jakarta  khususnya tidak dan daerah-daerah lain, tidak perlu kehilangan pengharapan. Selagi kita mampu  bersama-sama berkomitmen untuk  memperbaiki diri, memperbaiki perilaku kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, apapun kesulitan hidup itu akan ada jalan keluarnya.
فان مع العسريسرا  ان معالعسريسرا  فاذافرغت فانصب  والئ ربك فارغب
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. (QS. Alam Nasyrah: 5-8)

Bagi saudara-saudara kita yang beriman, tidak perlu merasa lemah, takut ataupun cemas, hanya karena suatu musibah atau bencana seperti banjir, sekalipun itu sangat menyedihkan dan menelan korban; korban harta, korban tenaga, bahkan korban nyawa. Kita tidak perlu takut kelaparan dan  takut miskin. Sebab, Allah SWT akan selalu menjaga dan memberi jalan keluar atas kesukaran hidup kita. Tentunya jika kita bersungguh-sungguh berupaya mengatasi berbagai persoalan yangmenyebabkan bencana itu terjadi.  Inilah jaminan yang sebenar-benarnya jaminan. Keselamatan, kemulyaan dan kesuksesan atas ridha Allah SWT. Insya Allah.

M. Mahlani
Penyuluh Agama Islam Kota Yogyakarta
Wilayah Kerja Kecamatan Jetis
Ketua Umum Kelompok Kerja 
Penyuluh Agama islam Kota Yogyakarta

0 komentar:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP