Tak Ada Kelaparan dan Ketakutan bagi Orang Beriman
“Dan Allah telah membuat
suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri
yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduknya) mengingkari ni’mat-ni’mat Allah; karena
itu Allah merasakan kepada mereka
pakaian kelaparan dan ketakutan,
disebabkan apa yang selalu mereka perbuat” (QS. An-Nahl, 16:112)
Bencana demi bencana secara bergelombang terus
menerpa bangsa Indonesia. Bencana banjir
di Jakarta di ibu kota Jakarta dan hampir sebagian besar wilayah nusantara, beberapa gunung api bererupsi, dan berbagai bencana lainnya seakan menjadi gong penutup atau
kemungkinan menjadi pembuka isyarat akan
adanya bencana yang lebih mengerikan
lagi, wallahu a’lam. Kita sedih, kasihan, prihatin dan selalu bertanya, mengapa bencana tak
kunjung lepas dari kehidupan masyarakat kita. Kasihan saudara-saudara kita, di saat
harus menghadapi masalah ekonomi yang lagi sulit – harga barang-barang kebutuhan pokok melambung tinggi - harus berjuang menyelamatkan
diri dari berbagai berncana yang menghabiskan harta benda dan bahkan memupuskan harapan.
Bencana demi bencana sepertinya benar-benar menjadi salah satu sebab timbulnya kelaparan dan ketakutan. Saudara-saudara kita yang menjadi pengungsi karena bencana banjir, gunung meletus, tanah longsor dan sebagainya harus merasakan, bagaimana rasanya makan tergantung
pada belas kasih bantuan orang lain. Mereka harus merasakan, bagaimana rasanya
tidur di rumah orang dengan seadanya, sementara kondisi rumahnya sendiri
beserta perabot di dalamnya tak jelas nasibnya karena tenggelam. Bagi sebagian
mereka yang memiliki pekerjaan tetap dan memiliki tabungan di Bank, mungkin beberapa hari menjadi pengungsi tidak
begitu merisaukan (sekali-sekali merasakan menjadi pengungsi), sebab mereka
masih ada harapan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi, lain
persoalannya bagi saudara-saudara kita yang pekerjaanya tidak tetap, maka apa yang bisa mereka lakukan dan harapkan untuk hari esok ?
Bagaimana harus memenuhi kebutuhan makan, bertempat tinggal, belajar bagi
anak-anak dan kebutuhan-kebutuhan lainnya ? Sungguh mengenaskan.
Akibat mengingkari nikmat Allah ?
Sebagai orang beriman, kita memang perlu bertanya
dari aspek yang lebih mendasar ketimbang
bersifat artifisial, seperti aspek ekologis, sosiologis atau ekonomis misalnya.
Aspek yang mendasar itu adalah dalam pertaliannya dengan hubungan antara kita
(sebagai makhluk) dengan Allah SWT (sebagai Khaliq). Apakah aneka bencana terjadi di masyarakat kita merupakan bukti nyata
bahwa kita telah mengingkari nikmat Allah SWT ? Sebab, pesan dari ayat 16 surat An-Nahl mengisyaratkan demikian. Bagi orang-orang yang mengingkari nikmat Allah, maka
ia akan ditimpa kelaparan dan ketakutan.
Sebagai bangsa yang masih tertatih-tatih membangun tatanan ekonomi-politik dan budaya yang kuat,
mestinya masih agak lumayan jika perilaku kita dan para pemimpin kita masih
menyimpan rasa dan sikap santun, saling menghargai, menghormati dan saling
melindungi. Itulah sebenarnya kekayaan yang harus kita miliki. Tetapi, ternyata
kekayaan itu telah banyak yang hilang atau memang sengaja dihilangkan. Sebagian di antara warga bangsa ini, termasuk
sebagian para pemimpin kita justru mendemonstrasikan perilaku tidak terpuji,
seperti; minuman keras, pergaulan bebas, berjudi, menimbun barang-barang
konsumsi masyarakat, dan perilaku negatif lainnya.
Keinginan
hidup serba mudah, enak, dan menyenangkan memang hak setiap warga negara. Semua orang syah dan
dijamin oleh hukum untuk menjadi pemimpin, menjadi kaya, sarjana dan hidup
secara berkecukupan. Tetapi lain
persoalannya, tatkala setiap orang mencari jabatan, kekayaan, kesarjanaan dan
beragam keinginan lainnya tanpa mengindahkan
etika, moral atau akhlaq. Pengin kaya, tanpa malu seseorang berkorupsi, manipulasi, berjudi, merampok,
memaksa hak/milik orang lain, menjarah hutan,
dan cara-cara kotor lainnya. Pengin jabatan dan pekerjaan, tanpa malu lagi sebagian
masyarakat kita menyogok, sikut
kanan-sikut kiri, lempar batu sembunyi tangan, dan cara-cara licik lainnya.
Pengin pandai (jadi sarjana) tanpa malu lagi seseorang menyontek, potong
kompas, bahkan membeli ijazah.
Cara-cara tidak terpuji seperti di atas itulah yang
sebenarnya hanya menghadapkan kita pada
kesulitan hidup, kehinaan dan kesengsaraan.
Sebab, cara-cara itu, selain merugikan diri sendiri juga merugikan atau
bahkan merusak orang lain (makhluk lain). Banjir yang menjadikan kita
menderita, tidak sepenuhnya hanya disebabkan oleh tingginya curah hujan, tetapi
pasti juga disebabkan oleh perilaku masyarakat kita yang kurang peduli terhadap
lingkungan dan kebersihan.
Tetap Menanam Harapan
Namun demikian, betapapun rasanya tidak ada lagi
yang bisa menjadi pengharapan untuk hidup secara mudah, enak dan
menyenangkan, sebagai orang yang
beriman, maka kita tidak boleh putus
asa. Kendati rasanya tidak ada lagi harapan untuk hidup lebih baik, kita harus
tetap menanam harapan itu. Apapun
jadinya, usaha adalah satu langkah
lebih baik dan terpuji daripada kita terus meratapi nasib. Harapan terbentuknya bangsa, kota,
kampung atau keluarga yang aminatan
mutmainnah, yaitu aman lagi
tenteram, rezkinya terus datang melimpah
ruah dari segenap tempat, tetap harus
kita tanam dalam kesadaran setiap pribadi. Inilah perjuangan yang menjadi
tantangan kehidupan kebangsaan kita ke depan.
Evaluasi kritis atas kesombongan, keserakahan dan kekonyolan
perilaku kita perlu menjadi kerangka dasar kebangkitan kesadaran terhadap makna
hidup kita yang sebenarnya sebagai warga bangsa. Sebab, bagi seorang mukmin,
sebenarnya sangat jelas pernyataan Allah SWT berikut :
ولاتهنواولاتحزنواوانتم الاعلون ان كنتم مؤمنين
Artinya
:
"Dan janganlah kamu merasa lemah dan
jangan pula merasa susah, dan kamu akan menang jika kamu mukmin" (Ali Imran: 138)
Orang yang beriman, implementasinya akan selalu
bersikap dan berperilaku santun, sopan, bijaksana, disiplin, pandai menjaga
kebersihan lingkungan, solidaritasnya tinggi, peduli terhadap kepentingan
bersama dan sifat-sifat positif lainnya. Jika setiap orang mampu mengembangkan
sifat semacam itu, niscaya berbagai bencana, khususnya banjir bisa kita
minimalisir sehingga kalaupun itu terjadi tidak menimbulkan korban yang sangat
besar sebagaimana terjadi di akhir Januari ini.
Lain persoalannya bagi orang-orang yang tidak
beriman, yang semangat hidupnya didominasi oleh harta, kekuasaan dan gila
kehormatan, maka perilakunya tidak mempertimbangkan mana yang halal dan mana
haram, mana bermanfaat dan mana yang menjadikan bencana. Ingat..! Bahwa alam
ini bukanlah jenis makhluk yang diliputi kepentingan sebagaimana manusia. Alam
adalah makhluk Allah yang latif, jujur,
dan tetap berada dalam fitrahnya. Karena itu, alam tidak akan menjadi
ganas dan mematikan, jika manusia bisa memperlakaukananya secara wajar dan
santun. Tetapi, sebaliknya, alam ini akan menjadi ganas dan menggilas apa saja
yang dilaluinya tatkala manusia berbuat sewenang-wenang terhadapnya, seperi;
menjarah hutan dengan rakuasnya, membuang sampah atau kotoran sesukanya,
merusak lingkungan dengan bebasnya.
Karena itu, beberapa tahun terakhir ini, bangsa
Indonesia, sebenarnya bisa sedang memetik buah yang telah ditanamnya. Bencana
banjir yang volume, wilayah dan korbannya terus bertambah, tanah longsor terjadi
dimana-mana, gunung meletus dan sebagainya, tentunya menjadi bagian dari ayat-ayat Allah agar kita melakukan evaluasi dan ditindaklanjuti dengan perbaikan diri.
Akhirnya, selain usaha-usaha keras yang bersifat
sosiologis-teknologis untuk mengantisipasi bencana yang kemungkinan akan
terjadi lebih dahsyat lagi, yang lebih
mendasar lagi adalah kita bangun kesadaran kemanusiaan kita. Kita mantapkan dan
implementasikan keimanan kita untuk
menjadi warga bangsa yang bertanggung jawab, disiplin, santun, dan berakhlak
mulia. Inilah satu-satunya harapan yang bisa membesarkan hati kita untuk selalu
berpengharapan hari esok yang lebih
baik.
Bagi
saudara-saudara kita yang sedang menghadapi banjir di seantero Jakarta khususnya tidak dan daerah-daerah lain, tidak
perlu kehilangan pengharapan. Selagi kita mampu
bersama-sama berkomitmen untuk
memperbaiki diri, memperbaiki perilaku kehidupan dalam berbangsa dan
bernegara, apapun kesulitan hidup itu akan ada jalan keluarnya.
فان مع العسريسرا ان معالعسريسرا فاذافرغت فانصب والئ ربك فارغب
“Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan
itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. (QS. Alam
Nasyrah: 5-8)
Bagi saudara-saudara kita yang beriman, tidak perlu
merasa lemah, takut ataupun cemas, hanya karena suatu musibah atau bencana
seperti banjir, sekalipun itu sangat menyedihkan dan menelan korban; korban
harta, korban tenaga, bahkan korban nyawa. Kita tidak perlu takut kelaparan
dan takut miskin. Sebab, Allah SWT akan
selalu menjaga dan memberi jalan keluar atas kesukaran hidup kita. Tentunya
jika kita bersungguh-sungguh berupaya mengatasi berbagai persoalan yangmenyebabkan
bencana itu terjadi. Inilah jaminan yang
sebenar-benarnya jaminan. Keselamatan, kemulyaan dan kesuksesan atas ridha
Allah SWT. Insya Allah.
M. Mahlani
Penyuluh Agama Islam Kota Yogyakarta
Wilayah Kerja Kecamatan Jetis
Ketua Umum Kelompok Kerja
Penyuluh Agama islam Kota Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar