Memaknai Kemerdekaan
Pada
dasarnya, secara pribadi-pribadi kita dilahirkan menjadi makhluk merdeka. Kita
bebas mengekspresikan kemanusiaan kita sesuai dengan kemampuan yang kita
miliki. Artinya bahwa untuk dapat hidup
secara merdeka, merdeka dari jeratan budaya, merdeka dari belenggu kemiskinan,
kebodohan, ketertinggalan dan sebagainya, pada dasarnya tidak perlu menunggu
dimerdekakan oleh negara (pemerintah) atau orang lain. Allah menegaskan dalama
firman-Nya:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ
يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ
وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَءَاتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ.
"Dan (ingatlah), ketika Musa
berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, ingatlah ni`mat Allah atasmu ketika
Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang
merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada
seorangpun di antara umat-umat yang lain" (QS. Al Maidah: 20)
Namun
toh demikian, kemerdekaan dalam konteks berbangsa dan bernegara yang telah 69
tahun dimiliki bangsa Indonesia, semestinya semakin mampu mempercepat
pemerdekaan seluruh warga dari jeratan-jeratan hidup yang menyengsarakan.
Bangsa ini semakin leading untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia
untuk tampil secara meyakinkan di tengah masyarakat dunia. Tetapi, di sinilah
persoalan utamanya, kemerdekaan negara Indonesia ini, masih perlu dimaknai
secara sungguh-sungguh oleh segenap warga bangsa-utamanya dalah para pemimpin
dari tingkat pusat sampai ke kampung-kampung. Bagaimana memaknai kemerdekaan
itu? Untuk mengurai masalah ini, maka kita perlu memahami makna yang paling
mendasar dari kemerdekaan itu, antara lain:
Hanya
bergantung kepada Allah. Ini berarti bahwa kemerdekaan dalam konteks berbangsa
dan negara, semestinya dapat diproyeksikan untuk menanamkan kesadaran seluruh
komponen bangsa untuk hanya bergantung kepada Allah SWT. Semua sektor
pembangunan bangsa ini di di satu disisi dijiwai oleh semangat Tauhid dan di
sisi lain semakin memperkuat keyakinan hidup setiap warga bangsa. Ini berarti behwa kemerdekaan bangsa ini
tidak hanya dimaknai sebatas kemerdekaan politik, ekonomi atau fisik
semata,tetapi juga kemerdekaan spiritual. Hal ini merupakan perwujudan dari
pesan-pesan Allah dalam ayat berikut:
لاَ
تَعْبُدُونَ إِلاَّ اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِى الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا
الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِنْكُمْ
وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ.
"Dan
(ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata
yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian
kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu
selalu berpaling" (QS.Al Baqarah: 83)
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ
اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ.
"Shibghah Allah. Dan siapakah yang
lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah"
(QS. Al Baqarah:138).
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
"Hanya kepada
Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan
(QS. Al Fatihah: 5)
- Paling sedikit dibelenggu keinginan. Ini berarti bahwa kemerdekaan bangsa ini semakin menyadarkan seluruh keluarga bangsa semakin mampu mengekspresikan potensi aktualnya dan mengartikulasikan keinginan-keinginan sadarnya secara konstruktif. Keinginan adalah bagian dari fitrah yang dimiliki setiap orang. Tetapi keinginan perlu diarahkan agar menjadi energi yang produktif, seperti diisyaratkan dalam ayat berikut :
يَاأَيُّهَا
النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّهَ وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمً.ا
"Hai Nabi,
bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang
kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana" (QS. Al Ahzab:1)
- Tidak diperbudak nafsu. Seperti keinginan, nafsu juga bagian dari fitrah yang dimiliki setiap makhluk, khususnya manusia. Karena nafsu inilah yang menggerakkan manusia dapat aktif, progresif dan terus tumbuh dan berkembang. Namun demikian, nafsu harus dapat dikendalikan. Karena, jika tidak dapat dikendalikan akan merusak tatanan. Dalam konteks ini, kemerdekaan bukan berarti bebas dari aturan, bebas dari norma-norma agama, bebas dari lingkungan. Kemerdekaan juga harus dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk mengendalikan diri, seperti diinfirmasikan Allah dalam ayat berikut :
فَلاَ تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ
تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرًا.
"Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan
jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan" (QS. An Nisa: 135)
- Tawadhu' dan ikhlas. Ini berarti bahwa kemerdekaan yang kita perjuangkan dengan mengorbankan segala yang kita miliki, harus kian menjadikan setiap diri warga bangsa ini menjadi pribadi yang tawadhu', yaitu pribadi yang bijak, santun, dan pandai menghargai karya dirinya sendiri dan orang lain, khususnya para pendahulu-para pejuang kemerdekaan. Semua ini didasar dengan kesadaran dan ketulusan atau keikhlasan. Karena, dua hal inilah yang menjadikan semua karya atau kegiatan kita bermakna. Ada tujuh ayat dalam Alquran yang menegaskan pentingnya keikhlasan dalam melakukan semua kegiatan, antara lain disebut pada ayat berikut:
وَمَنْ
أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ
مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً.
"Dan
siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti
agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya".
(QS. An Nisa: 125).
Hadits Nabi SAW:
حَدِيثُ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَضَمَّنَ اللَّهُ لِمَنْ خَرَجَ فِي سَبِيلِهِ لَا
يُخْرِجُهُ إِلَّا جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَإِيمَانًا بِي وَتَصْدِيقًا بِرُسُلِي
فَهُوَ عَلَيَّ ضَامِنٌ أَنْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ...
"Diriwayatkan
daripada Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: Allah akan
memberi jaminan kepada orang-orang yang keluar (berjuang) di jalanNya. Sesungguhnya
orang yang keluar untuk berjihad hanya kerana iman dan ikhlas kepada Allah,
maka Allahlah yang akan memberi jaminan untuk memasukkannya ke dalam Syurga…"
- Tawakkal. Tawakkal adalah sikap positif dalam memaknai sebuah proses maupun hasil akhir dari perjuangan. Demikian halnya dengan kemerdekaan yang telah 62 tahun ini kita nikmati, yang telah diisi dengan berbagai kegiatan pembangunan dengan semua pernik-perniknya, perlu disikapi secara positif. Keberhasilan maupun kegagalan pembangunan perlu tetap disikapi secara positif. Karena tawakkal inilah yang menjadi energi keberlanjutan perjuangan.
وَمَنْ
يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ.
"Barangsiapa yang tawakkal kepada
Allah, maka sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS. Al Anfal: 49).
Demikianlah, 69 tahun kemerdekaan ini
perlu kita syukuri dan maknai dengan mengerahkan segenap kemampuan. Jalan
menuju kemerdekaan yang sebenarnya, kemerdekaan yang dapat mengentaskan semua
warga bangsa dari jeratan ekonomi, budaya, politik dan sebagainya masih menghadang
di depan mata. Karena itu, semoga Allah
memberi kekuatan dan jalan keselamatan bagi semua warga bangsa ini dan semua
yang kita lakukan untuk bangsa ini menjadi berkah – bermanfaat bagi semuanya.
Wallahu a'lam.
M. Mahlani
Ketua Kelompok Kerja Penyuluh Agama Islam
Kota Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar